Pada episode sebelumnya kita telah membicarakan relasi antara Liu Bei dan Zhuge Liang. Dari relasi tersebut, kita membaca dua huruf, yaitu 孤独 (gūdú, kesendirian). Mungkin para pembaca merasa heran, memang Zhuge Liang kesepian?
Ya.
Bahkan semua orang yang agung sebenarnya kesepian.
Cao Cao demikian. Zhuge Liang juga.
Cao Cao kesepian hingga taraf anaknya sendiri tak mampu memahami dia.
Kita tahu di zaman-zaman berikutnya, Zhuge Liang sangat dihormati dan dipuja. Namun kita juga harus tahu, seorang tokoh dalam sejarah, semakin dia disanjung dan dihormati oleh generasi berikutnya, maka ia pun semakin tersendiri.
Hidup Zhuge Liang memiliki banyak misteri. Misteri-misteri ini tertutupi oleh kemuliaan Zhuge Liang. Di episode ini kita akan membahas empat misteri Zhuge Liang.
1. Misteri Turun Gunung
Bagaimana Zhuge Liang turun gunung? Pandangan populer menjawab: tiga kali kunjungan ke pondok jerami. Apakah benar? Benar.
Tetapi, juga ada pandangan lain yang menjawab: Zhuge Liang datang merekomendasikan dirinya. Prof. Yi sudah pernah membahas ini di episode tiga kali kunjungan ke pondok jerami. Dan kesimpulan dari prof. Yi adalah, tiga kali kunjungan maupun merekomendasikan diri sendiri, keduanya sama-sama terjadi. Kesimpulan ini langsung mengundang protes dari banyak orang. Banyak orang protes karena kesimpulan ini seolah merendahkan Zhuge Liang. Pandangan prof. Yi jelas. Jika memang kenyataan, maka kita harus dengan hati yang tulus mengutarakan kenyataan itu. Tanpa dipengaruhi oleh menyanjung ataukah merendahkan. Dan menurut prof. Yi, kesimpulan itu juga bukan merendahkan Zhuge Liang. Mengapa?
Mari kita lihat dulu pandangan “tiga kali kunjungan”. Adakah buktinya? Ada. Dalam Chu shi biao. Maka ini sudah pasti adalah kenyataan. Tapi ini bukan berarti Zhuge Liang benar-benar hanya berdiam diri dan menunggu Liu Bei berkali-kali berkunjung barulah ia mau turun gunung. Dan juga bukan berarti Zhuge Liang awalnya tidak ingin turun gunung, dan baru setelah Liu Bei datang, ia mau turun gunung. Menurut prof. Yi, Zhuge Liang dari awal memang ingin turun gunung. Di manakah buktinya? Di Records of the Three Kingdoms, yaitu Zhuge Liang membandingkan dirinya dengan Guan Zhong dan Yue Yi. Seorang yang membandingkan diri dengan Guan Zhong dan Yue Yi, tak mungkin hanya berdiam di Longzhong. Jika memang ia menganggap diri setara dengan Guan Zhong dan Yue Yi, tidak mungkin ia pasif menunggu.
Lalu mengapa Chu shi biao seolah mengatakan sebaliknya? Seolah Zhuge Liang turun gunung karena dikunjungi Liu Bei. Padahal sebenarnya tidak demikian. Yang dikatakan oleh Zhuge Liang dalam Chu shi biao adalah kata-kata merendah. Kata-kata yang mengungkapkan perasaan mengenang Liu Bei.
Sebenarnya, Zhuge Liang adalah guoshi, seorang yang paling bertalenta di negara. Apa karakteristik guoshi? Keberlangsungan dan kesejahteraan tianxia adalah tanggungjawabnya. Bukankah seorang sarjana lulusan universitas saja memiliki idealisme membangun negara? Apalagi seorang guoshi seperti Zhuge Liang. Mana mungkin ia tak memiliki tekad ini sedikit pun? Jika kita menolak Zhuge Liang memiliki tekad ini, maka ini justru merendahkan Zhuge Liang.
Dan, jika memang Zhuge Liang adalah seorang yang hanya ingin menetap di Longzhong, tak mau turun gunung, tidak mungkin Liu Bei akan menghargai Zhuge Liang.
Ketika Cao Cao hendak menyerang Jingzhou, dan Zhuge Liang tahu Jingzhou dalam kondisi bahaya, dia pasti berinisiatif keluar mencari Liu Bei. Hanya saja, karena faktor yang kita tidak tahu, saat Zhuge Liang menemui Liu Bei, mungkin waktu itu Liu Bei masih menimbang-nimbang, sehingga Zhuge Liang harus kembali ke Longzhong. Setelah beberapa saat barulah Liu Bei pergi ke Longzhong mencari Zhuge Liang. Dan “tiga kali” mungkin saja bukan harafiah, tetapi bisa jadi “berkali-kali”. Dan mungkin juga tiga kali bukan hanya bertemu satu kali, melainkan bertemu berkali-kali, dan berdiskusi berkali-kali.
Maka penjelasan ini justru bukan merendahkan Zhuge Liang. Malah sebaliknya, kita memandang Zhuge Liang dengan sangat positif.
Sebab di sini kita melihat semangat dari Zhuge Liang. Yaitu benar-benar mencurahkan hati dan pikiran pada tianxia. Sebuah spirit guoshi. Ini patut kita hargai. Sebaliknya, para cendekiawan yang kelihatan pintar bersahaja, tetapi tidak mau memberikan sumbangsih apa pun bagi negara, justru bukan sesuatu yang baik.
2. Misteri Pengakuan Bersama
Apa yang dimaksud dengan ‘pengakuan bersama’? Pengakuan bersama berarti mengakui Sun Quan sebagai kaisar. Kita tahu bahwa Sun Quan mengangkat diri sebagai kaisar pada saat yang lebih belakangan. Urutan pengangkatan kaisar pada periode Tiga Negara adalah sebagai berikut.
Yang pertama mengangkat diri sebagai kaisar adalah Cao Pi. Setelah Cao Cao meninggal, Cao Pi melakukan transaksi politik bersama kaum shizu, dan ia menjadi kaisar Wei. Maka dinasti Han pun digantikan oleh Wei. Tetapi setelah itu, Liu Bei juga mengangkat diri sebagai kaisar, dan mendirikan Han kembali. Saat itu Sun Quan belum menjadi kaisar, ia yang paling akhir mengangkat diri menjadi kaisar.
Setelah Sun Quan menjadi kaisar, ia mengirim utusan ke Shu, mengajukan usulan bagaimana jika mereka saling mengakui satu sama lain sebagai kaisar. Ini tentu adalah hal yang sangat besar. Sebab setelah berlakunya sistem kekaisaran, hanya ada satu negara, dan tentu hanya ada satu kaisar. Bagaimana bisa ada dua kaisar?
Proposal yang diajukan Sun Quan ini adalah, Sun Quan mengakui Shu Han, dan Shu Han sebaliknya juga mengakui kaisar Wu. Namun mereka berdua sepakat sama-sama tidak mengakui Cao Wei. Namun tetap saja, dua kaisar tidaklah cocok dengan sistem saat itu.
Tetapi, Zhuge Liang setuju.
Ini hal yang tidak dapat dibayangkan saat itu.
Tentu, kita ingat bahwa Zhuge Liang memang sejak awal dan selalu berpendirian menggandeng Wu untuk melawan Wei. Begitu Liu Bei meninggal setelah kekalahan di Yiling, hal pertama yang dilakukan Zhuge Liang adalah memulihkan hubungan kedua negara. Ia mengirim Deng Zhi sebagai utusan ke Wu. Sun Qun menerima tawaran ini. Dan sejak itu Shu dan Wu sama sekali tak pernah saling berperang.
Namun saat Deng Zhi menuju ke Wu untuk kali kedua (saat itu Sun Quan belum menjadi kaisar), Sun Quan sudah mengusulkan pemikiran pengakuan bersama tersebut. Ia berkata, “Jika nanti dunia sudah damai, kita berdua sudah berhasil memusnahkan Wei, bagaimana jika kedua negara kita sama-sama menjadi kaisar?” Apa kata Deng Zhi? “Ini rasanya tidak bisa, Yang Mulia.” Deng Zhi mengharapkan jika Wei sudah kalah, maka Wu seharusnya menyerah kepada Shu.
Tetapi setelah Sun Quan benar-benar menjadi kaisar, Zhuge Liang memutuskan mengakui Sun Quan sebagai kaisar.
Ini hal yang tidak main-main. Bagi seseorang yang memiliki ideal besar seperti Zhuge Liang, ini sangat tidak mudah.
Apa artinya ini?
Menurut prof. Yi, hal ini menunjukkan semangat pragmatis Zhuge Liang.
Zhuge Liang sangat pragmatis dan realistis. Jika kita kembali melihat Dialog Longzhong, apa yang dipaparkan oleh Zhuge Liang semuanya kenyataan dan realistis, tidak ada satu pun kata-kata kosong. Ia langsung to the point bahwa Liu Bei harus merebut wilayah kekuasaan. Tanpa wilayah, semua tak mungkin.
Semangat pragmatis Zhuge Liang adalah semangat pragmatis yang penuh pertimbangan cermat.
Tapi di sini muncul masalah. Bagaimana dengan ekspedisi ke utara yang dilancarkan Zhuge Liang? Ini sudah pernah kita bahas sebelumnya. Ini juga menunjukkan Zhuge Liang bukan berpikiran sempit, melainkan tetap mempertimbangkan segala sesuatunya dengan mendalam, barulah ia terpaksa memilih melakukan cara tersebut.
3. Misteri Otoritas Pemerintahan
Kita sudah pernah membicarakan sebelumnya, bahwa prestasi pertama Zhuge Liang sejak ia turun gunung adalah memprakarsai aliansi Liu Bei dan Sun Quan. Tetapi sejak perang Chibi, hingga perang Yiling, kita nyaris tak mendengar suara Zhuge Liang.
Zhuge Liang menjadi benar-benar menonjol, adalah setelah Liu Bei meninggal. Zhuge Liang memegang seluruh kendali pemerintahan Shu, meliputi semua urusan militer dan administrasi. Semua hal, baik kecil maupun besar, harus melalui keputusan Zhuge Liang. Ini adalah otoritas penuh. Bahkan bisa dibilang mengendalikan kaisar.
Di Tiongkok kuno, hal seperti ini sebenarnya adalah hal yang tabu. Sehingga ini menimbulkan kesulitan bagi para sejarawan untuk menjelaskannya. Penjelasan pertama biasanya adalah Liu Shan seorang pemimpin yang tak mampu. Tetapi di episode yang lalu kita telah mendiskusikannya dan menyimpulkan bahwa Liu Shan bukan tidak mampu. Penjelasan yang lain adalah, Zhuge Liang haus kekuasaan. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Zhuge Liang tidak haus kekuasaan. Ia tidak seperti Cao Cao yang mewariskan kekuasaannya sebagai perdana menteri kepada anaknya sendiri.
Lalu bagaimana penjelasan yang paling tepat?
Kita hanya bisa mengatakan bahwa Zhuge Liang seorang yang sangat sangat bertanggungjawab. Ia tidak tenang, ia kuatir jika pekerjaan ini diserahkan kepada orang lain. Ini biasanya adalah psikologis seseorang yang kemampuannya terlalu kuat. Ia kuatir orang lain tidak mampu bekerja sebaik dirinya.
Ketika ekspedisi ke utara, Sima Yi pernah bertanya kepada orang Shu, bagaimana perdana menteri kalian? Orang Shu menjawab, perdana menteri kami tiap hari makan sangat sedikit, tetapi pekerjaan yang beliau lakukan sangat banyak. Bahkan pelaksanaan hukuman di atas dua puluh pentungan pun harus dipimpin sendiri oleh beliau. Sima Yi berkata, dia akan segera mati.
Hal ini pun masih diperdebatkan. Ada orang berpendapat, bagaimana mungkin seorang perdana menteri harus turun sendiri menghitung jumlah pentungan pada pelaksanaan hukuman? Bukankah ini sama halnya dengan seorang presiden direktur menghitung satu demi satu uang kertas untuk gaji karyawannya? Ada pula yang berpendapat, jika memang demikian yang dilakukan Zhuge Liang, maka kemampuan manajerial Zhuge Liang patut dipertanyakan. Jika semua hal dikerjakan sendiri, pantas saja tidak ada penerusnya. Orang lain tidak punya kesempatan belajar, tidak punya kesempatan bertumbuh.
Menurut prof. Yi, hal ini mungkin saja terjadi. Tetapi bukan berarti setiap ada pelaksanaan hukuman, akan dihitung satu-satu oleh Zhuge Liang. Menurut prof. Yi, Zhuge Liang akan sesekali memimpin pelaksanaan ini. Mengapa harus sesekali memimpin sendiri? Sebab dengan cara inilah, Zhuge Liang dapat benar-benar menegakkan sistem legalismenya. Sebab ada satu aspek penting dalam legalisme, yaitu pelaksanaan hukum. Jika hukum sudah ditetapkan, tetapi tidak benar-benar ditaati, atau pelaksanaannya kurang ketat, maka hukum itu menjadi tak ada gunanya. Meskipun hal yang sepele seperti hukuman dua kali pukulan itu pun, tetap ada resiko peraturan tidak benar-benar dijalankan. Misalnya saja, yang memukul tidak memukul dengan kekuatan yang pas (terlalu berat atau terlalu ringan). Sehingga ini perlu pengawasan. Maka Zhuge Liang sesekali perlu memimpinnya sendiri.
Zhuge Liang benar-benar menjalankan dedikasi dan pengabdian total hingga akhir hayatnya (鞠躬尽瘁,死而后已). Jika kita mau katakan lebih gamblang, Zhuge Liang meninggal karena kelelahan.
4. Misteri Pengelolaan Shu
Bagaimana Zhuge Liang mengelola Shu, sudah pernah dibahas sebelumnya. Jika kita simpulkan, Zhuge Liang mengelola Shu dengan dasar hukum / legalisme. Pengelolaan Shu pun paling baik dibandingkan negara lain. Di dalam deskripsi Chen Shou di Records of the Three Kingdoms, ditulis bahwa para pejabatnya tidak ada yang korupsi, semua orang giat bekerja, keamanan sangat baik, tidak ada perundungan oleh yang kuat terhadap yang lemah, dan sangat bersih. Ini semua dapat tercapai karena Zhuge Liang sendiri menjadi teladan. Dengan hukum ia memerintah negara, ia sendiri menjalankan prinsip keterbukaan, kebenaran, dan keadilan.
Namun, muncul pertanyaan, jika Shu paling baik manajemennya, mengapa Shu justru yang paling awal musnah? Kita sudah menjawab pertanyaan ini di episode sebelumnya. Yang akan ditambahkan oleh prof. Yi di sini adalah, bagaimana kondisi masyarakat yang teratur seperti ini dapat diciptakan? Menurut prof. Yi, faktornya bukanlah hal yang baik, melainkan faktor perang. Pemerintahan Zhuge Liang sebenarnya adalah pemerintahan militer. Selain memerintah berlandaskan hukum, Zhuge Liang selalu membuat Shu berada dalam kondisi perang. Ekspedisi berkali-kali ke utara yang dilancarkan Zhuge Liang, di satu sisi adalah untuk mewujudkan idealisme politiknya, memulihkan Han, sedangkan di sisi lain, adalah untuk menekan kubu penentang di dalam negeri, yaitu kelompok Yizhou.
Jadi meskipun keamanan sangat baik, namun pajak sangat berat.
Maka kita sekarang balik bertanya, deskripsi kehidupan di Shu yang sangat baik, rapi dan teratur, sebenarnya baik atau tidak? Ini bisa menjadi topik diskusi kita bersama. Menurut prof. Yi pribadi, ia tidak terlalu menyetujui bahwa kehidupan sedemikian itu baik. Tetapi bukan berarti prof. Yi tidak menghormati Zhuge Liang. Kita harus memahami orang-orang di dalam sejarah, bagaimana mereka mau tidak mau harus melakukan suatu hal yang mungkin tidak sesuai keinginan, tetapi terpaksa dilakukan. Tetapi kita juga harus berdiri dari sudut pandang pengamat di masa kini, melihat dan menilai segala sesuatu dari konteks yang lebih luas, bukan sekadar memuja para tokoh itu.
Sistem hukum yang dijalankan Zhuge Liang tidak bisa kita samakan dengan konsep hukum di dunia modern sekarang. Sistem hukum pada zaman itu adalah dari atas ke bawah, adalah alat mengatur masyarakat oleh penguasa negara. Sedangkan hukum kita sekarang adalah hukum untuk melindungi masyarakat. Jadi meskipun semangatnya sama, namun konkritnya berbeda.
Jalan hukum yang ditempuh Zhuge Liang dapat ditelusuri ke Shang Yang. Dan Zhuge Liang memang sangat mengagumi Shang Yang. Dan kondisinya pun sama. Setelah reformasi Shang Yang dijalankan, maka seluruh rakyat negara Qin pun hidup dengan susah payah dengan hukum yang sangat disiplin.
Selain itu, prinsip hukum yang dijalankan Zhuge Liang ini membuatnya menjadi mirip dengan satu orang lagi. Siapakah itu?
Cao Cao.
Benarkah? Bagaimana mungkin Zhuge Liang mirip Cao Cao?
Nantikan di episode berikutnya.
Bagaimana menurut pembaca sekalian? Bagaimana sosok Zhuge Liang yang Anda ketahui atau Anda bayangkan? Silakan tulis di komentar.
Leave a Reply to Samuel Cancel reply